Jakarta I Gebrak24.com - Indonesia, negeri yang kaya akan sumber daya alam dan kebudayaan, namun masih tertatih dalam satu hal paling mendasar pendidikan dan Anggaran triliunan rupiah digelontorkan setiap tahun, namun kualitas dan akses pendidikan tetap memprihatinkan. Dr. Iswadi, M.Pd , pengamat dan praktisi pendidikan nasional, membongkar kenyataan pahit yang selama ini hanya dibisikkan: pendidikan kita sedang sakit dan nyaris tanpa arah.
"Pendidikan kita kehilangan arah karena terlalu sering dirombak tanpa fondasi,” tegasnya.Menurut Dr. Iswadi, kurikulum pendidikan di Indonesia tak ubahnya ladang eksperimen. Mulai dari KTSP, K13, hingga Kurikulum Merdeka dan kurikulum berdampak semua berganti tanpa proses transisi yang matang. Guru dipaksa menyesuaikan, siswa kehilangan pegangan, dan orang tua bingung harus berbuat apa. Alih-alih memperbaiki mutu pendidikan, sistem ini justru menciptakan kekacauan struktural yang membingungkan semua pihak.
Akademisi yang juga politisi muda asal Aceh ini menggambarkan kesenjangan akses sebagai penghinaan terhadap hak dasar anak bangsa. Dimana saat elite pendidikan sibuk membuat webinar dan seminar daring, anak-anak di pelosok harus menyusuri sungai, melintasi bukit, bahkan bertaruh nyawa untuk bisa belajar.
Di banyak tempat, sekolah hanyalah bangunan reyot tanpa guru, perpustakaan, bahkan air bersih. Kontras dengan kota besar, di mana sekolah elit sudah menggunakan iPad dan laboratorium digital.
Sebagai alumni Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Dr. Iswadi menyampaikan fakta memprihatinkan soal guru. Banyak guru honorer masih digaji di bawah UMR, harus mengajar lintas mata pelajaran, dan dibebani administrasi berlapis.
Ia menyebut ini sebagai penghancuran semangat mengajar secara sistematis. Tanpa pelatihan berkelanjutan dan insentif layak, bagaimana mungkin guru bisa membentuk generasi unggul? Pendidikan kita masih berorientasi pada nilai dan peringkat, bukan pada nalar dan logika.
“Kita mengajar anak untuk patuh, bukan untuk berpikir,” kritik Dr. Iswadi.
Hasilnya, lulusan sekolah hanya pandai menghafal, tapi bingung menghadapi dunia nyata. Tak heran, indeks literasi rendah, kreativitas tumpul, dan pengangguran intelektual terus meningkat.
Pandemi memaksa sekolah beralih ke pembelajaran digital. Tapi kenyataannya, ribuan sekolah di pedalaman tak punya sinyal, tak punya perangkat, bahkan tak tahu cara menggunakan platform daring. Menurut Dr. Iswadi, digitalisasi pendidikan Indonesia bagus di presentasi, tapi lumpuh dalam pelaksanaan. Teknologi bukan sekadar alat, tapi harus menyatu dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses belajar.
Dr. Iswadi menyesalkan budaya literasi yang nyaris tak bernyawa. Anak-anak lebih mengenal karakter game daripada tokoh nasional. Bukan karena malas, tapi karena tidak dibiasakan mencintai ilmu sejak kecil.
"Rumah tak jadi tempat membaca, sekolah tak menghidupkan perpustakaan. Ini kegagalan kolektif antara sistem, sekolah, dan keluarga, "tegasnya, seraya menambahkan, meski 20% APBN dialokasikan untuk sektor pendidikan, kenyataan di lapangan jauh dari harapan.
"Sekolah ambruk, guru tak digaji tepat waktu, dan buku pelajaran tak pernah sampai. Anggaran kita bocor di birokrasi. Banyak keputusan dibuat di ruang rapat, jauh dari realitas lapangan, kata Dr. Iswadi geram.
Menurut Dr. Iswadi, permasalahan pendidikan bukan sekadar teknis. Ini soal visi. Soal empati. Soal keberanian pemimpin untuk konsisten, dan kemauan masyarakat untuk terlibat. Pendidikan bukan proyek politik. Ia adalah nyawa masa depan bangsa, ucapnya tajam.
Kita terlalu lama membiarkan anak-anak tumbuh dalam sistem yang usang. Terlalu lama membiarkan guru berjuang sendirian. Terlalu lama percaya bahwa sertifikat dan angka ujian cukup menyelamatkan generasi.Jika kita benar-benar peduli pada masa depan Indonesia, maka pendidikan harus menjadi prioritas nyata bukan sekadar slogan. Dr. Iswadi menegaskan perlunya Membangun sekolah layak di daerah terpencil. (red/rj)