![]() |
Dr.Iswadi,M.Pd |
Jakarta I Gebrak24.com - Menjelang akhir tahun 2019, dunia masih berjalan seperti biasa. Lalu lintas padat, kampus kampus ramai dengan aktivitas akademik, dan ruang-ruang seminar dipenuhi mahasiswa serta dosen yang berdiskusi tentang berbagai ide dan gagasan.
Perjalanan Dr. Iswadi bukanlah kisah yang mulus. Lahir dan besar di sebuah desa kecil di Aceh, ia tumbuh dalam lingkungan yang sangat sederhana. Orang tuanya hanyalah masyarakat biasa dengan penghasilan pas-pasan. Namun sejak kecil, Iswadi memiliki semangat belajar yang luar biasa. Ia percaya bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari keterbatasan hidup.
Dengan dukungan keluarga dan tekad baja, ia melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang sarjana, lalu menyelesaikan program magister. Tapi kehausannya akan ilmu tak berhenti di situ. Ia terus bermimpi, dan mimpinya besar: menjadi doktor.
Kalau kita berhenti bermimpi, kita berhenti hidup, ujar Iswadi kepada mahasiswanya suatu ketika.
Kalimat itu bukan sekadar kutipan, melainkan filosofi hidup yang ia pegang teguh. Maka, saat ia memutuskan melanjutkan studi doktoral di UNJ, banyak yang terinspirasi—bukan hanya karena keberaniannya, tetapi juga karena pengorbanan yang menyertainya.
Selama menjalani program doktor, Iswadi harus membagi waktunya antara keluarga, pekerjaan, dan penelitian. Ia tetap mengajar di kampus sambil mengikuti perkuliahan dan seminar di Jakarta. Ia terbiasa melakukan perjalanan jauh, menginap seadanya, bahkan menulis draf disertasinya di mal atau di sela-sela kesibukan mengajar. Tidak sedikit hari-hari yang ia lalui tanpa istirahat cukup.
Puncak perjuangan itu terjadi pada akhir 2019. Setelah bertahun-tahun melakukan riset, merevisi puluhan kali naskah disertasi, dan melewati berbagai ujian akademik, tibalah hari yang dinanti: sidang terbuka promosi doktor. Hari itu, aula pascasarjana UNJ dipenuhi wajah-wajah tegang dan haru. Iswadi, dengan setelan jas sederhana namun rapi, berdiri dengan percaya diri di depan para penguji. Ia mempresentasikan hasil penelitiannya dengan semangat, kedalaman analisis, dan argumentasi yang kuat.
Ketika Ketua Sidang menyatakan bahwa Iswadi secara resmi menyandang gelar doktor, tepuk tangan memenuhi ruangan. Beberapa orang menitikkan air mata, termasuk Iswadi sendiri. Bagi sebagian orang, itu mungkin sekadar tambahan gelar. Tapi bagi Iswadi, itu adalah lambang perjuangan panjang, simbol harapan, dan bukti nyata bahwa mimpi bisa diraih siapa pun, asal tidak menyerah.
Tak lama berselang, dunia berubah drastis. Awal 2020, pandemi Covid-19 melanda hampir seluruh penjuru bumi. Kampus-kampus tutup, pembelajaran berpindah ke sistem daring, dan banyak rencana akademik tertunda. Namun Iswadi bersyukur karena ia telah menyelesaikan studinya tepat waktu, sebelum badai itu datang. Allah beri saya waktu yang tepat ujarnya. “Kalau saya tunda, mungkin saya tak bisa menyelesaikannya.”
Alih-alih beristirahat, pandemi justru membuatnya semakin aktif. Ia mengajar secara daring, menulis, dan membimbing mahasiswa dari berbagai daerah. Gelar doktor ia jadikan bukan sebagai simbol status, tapi sebagai alat untuk berbagi dan menginspirasi. Ia sadar bahwa pada masa sulit itu, banyak mahasiswa kehilangan arah baik karena ekonomi, keterbatasan fasilitas, maupun tekanan mental. Di tengah itu semua, Iswadi hadir sebagai sosok yang memberi semangat.
Ia menginisiasi berbagai kegiatan literasi, pelatihan menulis ilmiah, dan webinar secara daring. Mahasiswa menyebutnya bukan sekadar dosen, tapi mentor, sahabat diskusi, bahkan figur Beliau tak hanya mengajarkan teori, tapi juga kehidupan, ujar salah satu mahasiswanya.
Kini, bertahun-tahun sejak hari bersejarah itu, nama Dr. Iswadi dikenal luas di berbagai kalangan akademik, khususnya di Indonesia bagian barat.(red/rizal jibro).