![]() |
Dr.Iswadi,M.Pd |
Dr. Iswadi, M.Pd., akademisi dan aktivis pendidikan, menyatakan bahwa kasus ini bukan sekadar soal jarak. “Ini tentang keadilan dalam penugasan, tentang bagaimana guru diperlakukan oleh sistem,” tegasnya.
Menurutnya, keputusan mundur para guru bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan reaksi rasional terhadap sistem yang tak berpihak. Banyak guru ditugaskan ke daerah yang memerlukan perjalanan hingga delapan jam dari tempat tinggalnya, tanpa dukungan memadai. Dalam kondisi seperti itu, menuntut dedikasi dan kualitas tinggi dari guru menjadi tidak realistis.
Dr. Iswadi menyoroti bahwa penempatan guru masih terlalu birokratis dan berorientasi pada angka. “Sering kali, penugasan hanya didasarkan pada kebutuhan wilayah, tanpa mempertimbangkan kondisi sosial dan geografis guru. Mereka diperlakukan seperti angka statistik, bukan manusia yang punya keluarga dan tanggung jawab lain,” ujarnya.
Ia juga menyayangkan bagaimana proses rekrutmen tidak menilai kesiapan guru untuk ditempatkan di daerah terpencil. Banyak dari mereka tidak tahu ke mana akan dikirim setelah direkrut. Ini bukan program magang. Ini komitmen jangka panjang.
"Harusnya ada uji kesediaan sejak awal, tambahnya.
Masalah lain yang disoroti adalah kurangnya dukungan negara terhadap guru yang ditempatkan di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Tidak ada jaminan kenyamanan, transportasi sulit, biaya hidup tinggi, dan dukungan psikologis pun nyaris tidak ada. Pendidikan adalah komitmen bersama, bukan pengorbanan sepihak, tegas Dr. Iswadi.
Sebagai solusi, Dr. Iswadi mendorong adanya sistem penempatan guru yang mempertimbangkan data preferensi dan ketersediaan. Dengan pendekatan zonasi fleksibel, guru bisa diberi kesempatan untuk mengabdi di wilayah yang sesuai dengan kesiapan mereka.
Guru dari Jawa, misalnya, jika ingin mengabdi di daerah asal, seharusnya difasilitasi. Sedangkan yang bersedia ke luar pulau harus mendapat insentif dan jaminan kenyamanan, usulnya.
Ia juga mendorong penguatan pelatihan khusus bagi guru yang akan ditempatkan di daerah terpencil serta pembinaan karier yang berkelanjutan. Guru yang mengabdi di daerah sulit harus mendapat prioritas dalam sertifikasi, promosi, dan kenaikan pangkat. “Pengabdian harus dibalas dengan pengakuan, katanya.
Dr. Iswadi mengingatkan bahwa inti dari pendidikan adalah manusia, bukan sekadar infrastruktur atau kurikulum. Guru adalah jantung sistem pendidikan. Jika mereka tak diberdayakan, bagaimana kita bisa bicara kualitas? katanya.
Ia berharap kejadian serupa tidak terulang, dan pemerintah lebih serius dalam merancang kebijakan pendidikan yang adil dan manusiawi. Kalau kita ingin masa depan pendidikan yang lebih baik, maka kita harus mulai dengan memperlakukan guru secara adil. Dari merekalah masa depan itu dibentuk. (red/rj).
Masalah lain yang disoroti adalah kurangnya dukungan negara terhadap guru yang ditempatkan di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Tidak ada jaminan kenyamanan, transportasi sulit, biaya hidup tinggi, dan dukungan psikologis pun nyaris tidak ada. Pendidikan adalah komitmen bersama, bukan pengorbanan sepihak, tegas Dr. Iswadi.
Sebagai solusi, Dr. Iswadi mendorong adanya sistem penempatan guru yang mempertimbangkan data preferensi dan ketersediaan. Dengan pendekatan zonasi fleksibel, guru bisa diberi kesempatan untuk mengabdi di wilayah yang sesuai dengan kesiapan mereka.
Guru dari Jawa, misalnya, jika ingin mengabdi di daerah asal, seharusnya difasilitasi. Sedangkan yang bersedia ke luar pulau harus mendapat insentif dan jaminan kenyamanan, usulnya.
Ia juga mendorong penguatan pelatihan khusus bagi guru yang akan ditempatkan di daerah terpencil serta pembinaan karier yang berkelanjutan. Guru yang mengabdi di daerah sulit harus mendapat prioritas dalam sertifikasi, promosi, dan kenaikan pangkat. “Pengabdian harus dibalas dengan pengakuan, katanya.
Dr. Iswadi mengingatkan bahwa inti dari pendidikan adalah manusia, bukan sekadar infrastruktur atau kurikulum. Guru adalah jantung sistem pendidikan. Jika mereka tak diberdayakan, bagaimana kita bisa bicara kualitas? katanya.
Ia berharap kejadian serupa tidak terulang, dan pemerintah lebih serius dalam merancang kebijakan pendidikan yang adil dan manusiawi. Kalau kita ingin masa depan pendidikan yang lebih baik, maka kita harus mulai dengan memperlakukan guru secara adil. Dari merekalah masa depan itu dibentuk. (red/rj).