-->
Breaking News:
Memuat berita populer...

no-style

Dana Otsus Triliunan, Rakyat Aceh Masih Miskin: Alamp Aksi Desak KPK Audit Pokir DPRA

Redaksi
Thursday, September 04, 2025, 6:20:00 PM WIB Last Updated 2025-09-04T11:20:07Z


Banda Aceh I Gebrak24.com - Ketua DPW Alamp Aksi Aceh, Mahmud Padang, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan audit penyelidikan menyeluruh terhadap penggunaan dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh dan pokok pikiran (pokir) anggota DPR Aceh (DPRA). Desakan ini muncul setelah pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang disampaikan melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait soal efektivitas Otsus yang tiap tahun dikucurkan tetapi belum memberi hasil signifikan bagi rakyat.


“Sudah sekitar Rp100 triliun lebih dana Otsus mengalir ke Aceh sejak 2008, tapi Aceh masih menjadi provinsi termiskin di Sumatra. Ini bukti kegagalan tata kelola, bukan karena kurang dana,” ungkap Mahmud Padang melalui siaran pers, Kamis 4 September 2025.


Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan persentase penduduk miskin Aceh memang menurun dari 14,23 persen pada Maret 2024 menjadi 12,33 persen pada Maret 2025. Namun angka itu masih tertinggi di Sumatra, setara 704.690 jiwa. “Dengan alokasi dana sebesar itu, mestinya penurunan kemiskinan jauh lebih tajam,” ujar Mahmud.


Mahmud menilai lemahnya tata kelola anggaran diperkuat dengan langkah KPK yang menyurati 24 kepala daerah di Aceh untuk menyerahkan data proyek strategis, daftar pokir DPRD, serta hibah dan bantuan sosial. Menurutnya, permintaan data itu adalah sinyal kuat adanya potensi penyimpangan. “Pokir seharusnya menjawab kebutuhan rakyat di dapil, bukan jadi komoditas dan ruang mengumpulkan pundi-pundi. Kami mendukung penuh langkah KPK,” tegasnya.


Ia meminta KPK tak berhenti pada pengumpulan data, melainkan melakukan audit forensik terhadap penggunaan pokir DPRA dalam dua sampai tiga tahun terakhir. Audit tematik ini, kata Mahmud, akan menjawab apakah pokir benar-benar sesuai kebutuhan masyarakat atau justru diarahkan untuk menguntungkan kelompok tertentu.


Mahmud mencontohkan, ada pokir yang dialokasikan untuk pembangunan jalan atau fasilitas di luar daerah pemilihan anggota DPRA bersangkutan. Proyek semacam ini jelas tidak berangkat dari kebutuhan warga dapil, melainkan dari negosiasi politik dan jaringan kontraktor. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah temuan memperlihatkan pokir diarahkan untuk proyek fisik yang tidak memiliki urgensi di masyarakat, seperti pembangunan gedung di lokasi minim aktivitas warga atau pengadaan fasilitas yang tak dimanfaatkan optimal.


Praktik penyalahgunaan dana publik di Aceh bukan hal baru. Mahmud mengingatkan kasus korupsi beasiswa pendidikan 2017-2018 yang menyeret sejumlah anggota DPRA dan pejabat eksekutif. Berdasarkan vonis pengadilan, kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp22,3 miliar dari total pagu Rp349 miliar. Dana yang seharusnya untuk mahasiswa kurang mampu justru dibagi-bagikan secara tidak tepat sasaran, bahkan sebagian besar alirannya disinyalir dinikmati politisi.


Kasus lain adalah skandal Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Dana reintegrasi pascaperdamaian yang dialokasikan pemerintah pusat senilai Rp650 miliar lebih sejak 2005 hingga 2012 banyak tak jelas penggunaannya. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi penyimpangan puluhan miliar rupiah, mulai dari program rumah untuk eks kombatan yang mangkrak, hingga bantuan usaha yang fiktif. Beberapa kasus bahkan sudah berujung pada proses hukum dengan vonis pidana terhadap pejabat BRA. 


Mahmud menambahkan, indikasi serupa muncul pada pokir 2023-2024. Beberapa proyek yang diarahkan ke lokasi yang tidak masuk dapil pengusul pokir. Ada pula alokasi hibah untuk kelompok yang terindikasi fiktif, seperti yang terjadi dalam kasus korupsi seperti Pengadaan Budidaya Ikan Kakap dan Pakan Rucah untuk Masyarakat Korban Konflik yang diktif pada Badan Reintegrasi Aceh Tahun Anggaran 2023 yang menyedot anggaran hingga Rp.15,7 Milyar. “Kalau pola seperti ini dibiarkan, dana publik hanya jadi bancakan politik dan pemuas nafsu elit," katanya.


Menurut Mahmud, problem utama Aceh bukan sekadar angka kemiskinan, melainkan polarisasi politik yang kerap memanipulasi sentimen masyarakat dengan isu-isu besar. “Rakyat Aceh selama ini hanya disuguhi simbol-simbol politik, sementara anggaran besar yang dikucurkan justru diduga hanya dinikmati segelintir elite,” ujarnya.


Kritik Mahmud juga merujuk pada sejumlah indikator pembangunan manusia yang masih bermasalah. Angka stunting, misalnya, masih di atas rata-rata nasional meski alokasi anggaran kesehatan relatif besar. “Otsus seharusnya jadi instrumen untuk menurunkan kemiskinan, memperbaiki kualitas pendidikan, dan layanan kesehatan. Tapi kenyataannya, uang habis, rakyat tetap susah,” katanya.


Mahmud menegaskan masa depan Otsus tidak ditentukan oleh besar kecilnya transfer dari pusat, melainkan oleh integritas pengelolaan di daerah. Karena itu, ia mendorong KPK turun langsung menelusuri penggunaan pokir, hibah, dan bansos yang selama ini kerap dipertanyakan masyarakat.


“Jangan sampai anggaran besar hanya dinikmati segelintir elite. Otsus adalah uang perdamaian yang harus dirasakan rakyat. Kita meminta KPK agar benar-benar membongkar kalau ditemukan ada penyimpangan,”tegasnya. (rls/red/ops/mi)

Komentar

Tampilkan

  • Dana Otsus Triliunan, Rakyat Aceh Masih Miskin: Alamp Aksi Desak KPK Audit Pokir DPRA
  • 0

Terkini

Iklan

Close x