![]() |
Musda Yusuf |
Banda Aceh I Gebrak24.com - Pemerintah Kota Banda Aceh di bawah kepemimpinan Illiza-Afdh kembali disorot tajam setelah mengalokasikan hampir Rp679 juta untuk pengadaan konten Instagram dan TikTok sepanjang April hingga Desember 2025. Anggaran ini, yang tercatat dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) yang disebut sebagai upaya memperkuat komunikasi publik. Namun di mata masyarakat, angka itu lebih menyerupai pesta pencitraan di tengah dapur rakyat yang kosong.
Ketua DPD Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) Banda Aceh, Musda Yusuf mengkritik keras kebijakan tersebut. Menurutnya, di tengah kondisi ekonomi yang masih rapuh, keputusan itu menegaskan bahwa pemimpin kota lebih sibuk mengurusi bayangan citra di layar gawai ketimbang wajah nyata warganya yang berjuang membeli beras. “Ratusan juta untuk konten hanyalah bukti kegagalan empati. Bukan hanya sebatas menghamburkan uang daerah dimasa efesiensi anggaran, tetapi juga membakar empati rakyat," tegas Musda Yusuf, Selasa 9 September 2025.
Perbandingan sederhana membuktikan absurditas kebijakan ini. Dengan Rp679 juta, pemerintah bisa memberikan hibah kepada pelaku UMKM. Jika tiap unit usaha mikro mendapat Rp10 juta, setidaknya 67 pelaku bisa terbantu. Atau, dengan asumsi biaya Rp50 juta per rumah sederhana, 13 keluarga miskin dapat memiliki rumah yang layak. Alih-alih itu, uang tersebut dialihkan untuk membayar jasa influencer dan konten yang manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat sulit diukur. "Padahal, jika program yang menyentuh persoalan mendasar rakyat, maka tanpa dibayar pun rakyat akan membuat postingan media sosial, untuk membangun citra pemimpinnya. Kenapa harus menghambur-hamburkan uang daerah di tengah kondisi anggaran yang memprihatinkan," ungkapnya.
Kebijakan ini kian dipandang ironis bila dihubungkan dengan langkah awal pemerintahan Illiza-Afdhal yang sempat menuai polemik dimana pembelian empat unit mobil dinas baru menelan hingga Rp 5,45 Milyar. Kala itu publik merasa dikhianati karena pemerintah berdalih harus melakukan efisiensi anggaran. Kini, luka lama itu seakan terbuka kembali. Rakyat melihat pola yang sama, belanja untuk kepentingan simbolik lebih diutamakan ketimbang kebutuhan dasar rakyatnya.
Di Banda Aceh sendiri, UMKM yang jumlahnya lebih dari 15 ribu unit masih membutuhkan akses modal dan pasar. "Membelanjakan uang ratusan juta untuk citra digital di tengah fakta ini, bukan hanya salah urus, tetapi juga penghinaan bagi akal sehat publik. Ini bentuk pemborosan anggaran yang jelas-jelas tidak berpihak kepada rakyat," ujarnya.
Pemerintah mungkin berargumen bahwa komunikasi publik penting untuk menyampaikan program dan membangun partisipasi. Tetapi dalam tata kelola anggaran, konteks adalah segalanya. Komunikasi tidak berarti pemborosan. Apalagi bila tolak ukurnya samar, berapa banyak warga miskin yang keluar dari kemiskinan karena konten TikTok? Berapa UMKM yang omzetnya naik karena unggahan Instagram pemerintah? Tanpa indikator yang jelas, belanja ini hanya akan tercatat sebagai proyek citra tanpa legitimasi.
"Legitimasi seorang pemimpin tidak dibangun dengan jumlah likes, melainkan dengan keberanian memprioritaskan kebutuhan paling mendesak warganya. Jika alarm ini diabaikan, maka Rp679 juta itu akan tercatat bukan sebagai investasi komunikasi, melainkan sebagai simbol ketidakpekaan pemimpin kota terhadap denyut nadi rakyat yang kian terhimpit. Untuk apa Walikota sibuk menghabiskan uang daerah sebatas ingin bersolek di halaman media maya, jika kondisi ekonomi dan dapur rumah masyarakat kian terjepit. Jika benar-benar Walikota Illiza berpegang teguh kepada syariat islam maka ia tentu paham apa yang namanya mubazir, dan bagaimana seyogyanya seorang pemimpin dalam Islam, jika tidak maka ungkapan berbahasa syariah selama ini akan menjadi pemanis bibir belaka," ucapnya.