Gebrak24.com - Cot Gapu adalah sebuah desa di Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireuen, Desa ini berada di pinggir jalan nasional Medan-Banda Aceh dan menjadi contoh bagi suburnya kebersamaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jarak tempuh dari Kota Bireuen ke Cot Gapu lebih kurang 3 kilometer.
Di desa ini berdiri megah Kantor Pusat Pemerintahan Kabupaten Bireuen berlantai tiga serta sejumlah kantor pemerintahan instansi vertikal lainnya. Di Cot Gapu juga ada sekolah mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas. Alumni sekolah-sekolah tersebut saat ini tersebar di seantero Indonesia dengan berbagai macam profesi.
Keberagaman kehidupan masyarakat Desa Cot Gapu terlihat dari berbagai macam etnis, ras, serta agama penduduknya. Mereka sudah menetap sejak lama dalam ikatan persaudaraan yang kuat serta hidup rukun damai seperti satu keluarga.
Cot Gapu sudah lama terkenal karena di desa ini dulu ada pabrik korek api Puspa pada masa jayanya sekitar tahun ’70-an dan pabrik kawat duri serta paku yang mampu menyerap ratusan tenaga kerja dari masyarakat desa Cot Gapu khususnya serta luar desa, bahkan dari luar kecamatan.
Selain itu, keberadaan sekolah menengah atas favorit, yaitu SMA Negeri 1 Bireuen yang beriringan prestasinya dengan SMA Negeri 3 Banda Aceh menjadi incaran banyak pemuda.
Dengan adanya sekolah favorit tersebut maka ramai siswa-siswi luar Bireuen yang bersaing untuk masuk ke sekolah itu dan tinggal di Kecamatan Kota Juang, khususnya di Cot Gapu sehingga beragam budaya masyarakat berhimpun di desa ini.
Di Cot Gapu juga ada satu-satunya sekolah teknik mesin (STM) pada waktu itu yang sekarang disebut sekolah menengah kejuruan (SMK). Sekolah ini menjadi sasaran anak-anak muda untuk dapat bersekolah karena alumninya siap pakai di lapangan dan mampu mandiri.
Keberagaman budaya itu sudah tercermin sejak lama di Desa Cot Gapu yang didiami oleh penduduk asli warga Aceh dan warga Tionghoa, Jawa, Batak, Madura, Minang, dan Bugis.
Etnis-etnis tersebut sampai saat ini masih menetap dan berbaur dengan warga asli Aceh walaupun ada yang berlainan agama. Ketika saya tinggal di desa tersebut pada tahun ’70-an sudah ada warga Tionghoa yang kami panggil kelurga Pak Koa. Anak-anaknya fasih berbicara bahasa Aceh. Mereka juga ikut berbagai kegiatan kampung bersama masyarakat lainnya.
Keluarga Pak Koa sejak saya kenal memang muslim. Namun, ada juga warga Tionghoa yang beragama Kristen dan Buddha, tetapi hidup rukun di Desa Cot Bada. Bahkan, warga Indonesia keturunan ada yang diangkat menjadi aparatur desa untuk sama-sama memikirkan pembangunan desa serta kesejahteraan masyarakatnya.
Di desa ini juga dijumpai warga keturunan Ambon yang masih menganut agama Kristen dan bisa beribadah dengan tenang sesuai dengan agama yang dianutnya. Di samping itu, di desa yang beragam corak kehidupan masyarakatnya pernah ada bule asal Belanda yang dengan tenang tinggal di sini dan nyaman berkerja pada sebuah perusahaan swasta di Bireuen.
Warga keturunan luar Aceh yang berbeda agama serta ras juga mengaku sangat nyaman tinggal di Cot Gapu dan tenang dalam beribadah menurut kepercayaannya nya masing masing. Bahkan, mereka mengaku dapat berkerja sama dengan semua masyarakat secara bergotong royong membangun desa.
Sangat indah melihat anak-anak muda berkulit sawo matang bergaul dengan anak-anak berkulit putih dan mata sipit serta ada yang berkulit gelap dan berambut keriting bermain bersama dan bercakap-cakap dengan akrab tanpa ada rasa terbebani.
Bahkan warga luar Aceh dan berlainan etnis, agama ikut bergotong royong membantu warga Aceh yang melaksanakan hajatan. Bila ada warga yang meninggal maka seluruh warga juga ikut melayat tanpa terhijab oleh perbedaan suku dan agama. Sama-sama merasa duka dan ikut kehilangan serta menghibur warga yang tertimpa musibah.
Tidak ada diskriminasi bagi kaum minoritas atau berlainan agama, ras, etnis, dan tidak ada gangguan dalam mencari nafkah, serta selalu bersama dalam segala hal. Keberagaman tersebut awalnya karena di Cot Gapu menjadi sasaran pensiunan, baik pensiunan PNS, Polri, TNI yang memilih desa nyaman ini untuk menetap dan beranak cucu. Mereka umumnya adalah warga luar Aceh yang bertugas di Aceh dengan bermacam agama dan latar budaya. Bahkan di Desa Cot Gapu ada satu dusun yang diberi nama Dusun Veteran karena di dusun ini umunya didiami oleh pensiunan dari berbagi profesi.
Tidak ada kecemburuan dan gesekan, apalagi konflik dengan warga pendatang yang sudah bergenerasi tinggal di Desa Cot Gapu. Perbedaan agama, suku, dan bahasa tidak menjadi sumber masalah dan juga tidak menjadi materi kampanye dalam pemilihan kepala desa (keuchik).
Perbedaan pendapat yang menimbulkan protes pasti ada dalam hidup bermasyarakat, seperti protes warga terhadap beberapa program desa, tetapi bisa diselesaikan dengan baik tanpa memperbesar perbedaan. Perbedaan pandangan dianggap suatu kebesaran dari Tuhan untuk mengembangkan pemikiran guna mencari yang terbaik dan tidak saling merugikan.
Masyarakat asli di Cot Gapu mengaku tidak merasa iri dengan pendatang dan menganggap diri “asoe lhok” (panduduk pribumi yang berkuasa). Mereka tetap menghargai, apalagi pendatang yang menjunjung tinggi dan menghargai adat dan budaya masayarakat setempat.
Selama masa konflik melanda Aceh penduduk di Cot Gapu tetap nyaman dalam perbedaan yang mampu dipersatukan dalam kebersamaan sebagai hamba ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Unik kerukunan di desa ini karena masyarakatnya lebih fokus kepada masalah ekonomi dibandingkan dengan mempersoalkan perbedaan tradisi.
Cara pandang terhadap pluralisme yang ditunjukkan masayarakat Cot Gapu menggambarkan masyarakat yang telah maju walaupun pada awalnya banyak di antara mereka yang berpendidikan rendah. Baru pada generasi sekarang banyak anak Cot Gapu sudah berpendidikan tinggi dan bekerja dengan bermacam profesi di seluruh pelosok Nusantara.
Dengan pendidikan tinggi tersebut menambah eratnya kebersamaan dalam perbedaan yang bisa memperkuat kesatuan untuk dapat lebih maju. Dan kebhinnekaan tunggal ika yang ditunjukkan masyarakat Cot Gapu kiranya dapat menjadi contoh bagi desa-desa lain untuk merajut persamaan dalam perbedaan. (Usman Cut Raja)
No comments:
Tulis comments