![]() |
Dr.Iswadi,M.Pd |
Jakarta I Gebrak24.com - Menjelang satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, isu kesejahteraan guru kembali mencuat sebagai topik sentral dalam evaluasi kebijakan pendidikan nasional. Dr. Iswadi, akademisi dan pemerhati pendidikan, menyampaikan catatan kritis bahwa masa depan pendidikan Indonesia sangat ditentukan oleh keberpihakan nyata terhadap para guru bukan sekadar dalam bentuk janji politik atau alokasi anggaran yang besar, tetapi melalui kebijakan yang adil, merata, dan tepat sasaran.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Prabowo telah menegaskan bahwa pendidikan adalah salah satu prioritas utama pemerintahannya. Namun, Dr. Iswadi mengingatkan bahwa pembangunan sektor pendidikan tak mungkin terwujud tanpa memperbaiki kondisi guru terlebih dahulu. Guru bukan hanya pelaksana kurikulum; mereka adalah ujung tombak transformasi bangsa.Hal tersebut disampaikan nya kepada wartawan Melalui pesan WhatsApp,, Sabtu 13 September 2025
Alumni Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta tersebut mengatakan Tidak ada pendidikan yang baik tanpa guru yang sejahtera. Dan tidak ada guru yang bisa mendidik dengan baik jika ia sendiri hidup dalam ketidakpastian ekonomi
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran cukup besar untuk sektor pendidikan, termasuk untuk tunjangan profesi guru, insentif, dan peningkatan kapasitas. Namun, Dr. Iswadi menyoroti bahwa pelaksanaan di lapangan masih jauh dari harapan. Banyak guru honorer masih menerima gaji jauh di bawah upah minimum, bahkan ada yang hanya dibayar Rp300.000 hingga Rp500.000 per bulan.
Ini adalah ironi. Di satu sisi kita bicara revolusi industri 4.0, kecerdasan buatan, dan kurikulum merdeka belajar. Tapi di sisi lain, guru guru kita masih harus bekerja sambilan, berdagang, atau mengojek untuk mencukupi kebutuhan hidup, ungkapnya.Dr. Iswadi juga mengingatkan bahwa distribusi tunjangan guru, baik untuk ASN maupun non ASN, kerap tidak merata dan tersendat akibat mekanisme birokrasi yang rumit.
Salah satu isu yang paling banyak disuarakan oleh guru adalah status kepegawaian yang tidak jelas. Ribuan guru honorer di seluruh Indonesia belum juga mendapatkan kejelasan nasib, meskipun sudah mengabdi bertahun tahun. Program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sempat memberi harapan, namun proses rekrutmen yang terbatas dan tidak serentak menyebabkan banyak guru tertinggal.
Dr. Iswadi menganggap bahwa penyelesaian masalah guru honorer harus menjadi prioritas nasional. Kita tidak bisa membangun sistem pendidikan yang kuat dengan fondasi guru-guru yang tidak tenang hidupnya. Kalau kesejahteraan dan status mereka tidak segera dibenahi, maka semangat dan kualitas pendidikan juga akan tergerus.
Dr. Iswadi mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas guru melalui pelatihan dan program sertifikasi. Namun, ia mengingatkan bahwa pelatihan tanpa peningkatan kesejahteraan hanya akan menjadi beban tambahan.
"Guru dituntut untuk terus belajar, mengikuti pelatihan, menguasai teknologi, namun gaji mereka tidak naik, tunjangan belum cair, dan beban administrasi makin berat. Ini kontradiktif,"kata Iswadi.
Ia mendorong agar pelatihan dipadukan dengan insentif yang layak, serta dikurangi birokrasi administratif yang menyulitkan.
Kesenjangan antara guru di kota dan di daerah terpencil juga menjadi perhatian serius. Guru di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) masih menghadapi tantangan besar seperti akses transportasi sulit, fasilitas minim, hingga tidak adanya jaminan keamanan. (red/rizal jibro).