![]() |
Dr.Iswadi,M.Pd |
Jakarta I Gebrak24.com - Pendidikan adalah hak setiap anak bangsa, tanpa terkecuali. Prinsip inilah yang menjadi dasar pernyataan tegas Dr. Iswadi, seorang tokoh pendidikan sekaligus aktivis yang kerap dijuluki Pendekar Pendidikan. Ia angkat bicara terkait polemik yang mencuat di SMA Negeri 5 Bengkulu, di mana sebanyak 72 siswa dinyatakan tidak dapat melanjutkan pendidikan di sekolah tersebut hanya karena tidak terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
Menurut Dr. Iswadi, alasan Dapodik tidak bisa dijadikan pembenaran atas pengeluaran puluhan siswa dari sekolah. Dapodik adalah alat pendataan, bukan alat diskriminasi. Jika ada siswa yang belum terdata, maka tugas sekolah dan Dinas Pendidikan adalah mencari solusi, bukan malah menyingkirkan mereka, tegasnya dalam sebuah wawancara khusus dengan para awak media melalui telpon seluler
Peristiwa ini mencuat setelah sejumlah orang tua murid melaporkan bahwa anak-anak mereka ditolak untuk melanjutkan pendidikan di SMA 5 Bengkulu karena status mereka tidak tercatat di Dapodik. Padahal, para siswa tersebut telah mengikuti proses belajar selama beberapa bulan dan menunjukkan komitmen untuk belajar. Ketika tiba saatnya pendataan, mereka justru dianggap “tidak resmi” dan diarahkan untuk mencari sekolah lain. Sebuah kebijakan yang dinilai mencederai semangat inklusivitas dalam dunia pendidikan.
Dr. Iswadi menyatakan, dalam sistem pendidikan nasional, tidak ada regulasi yang membenarkan pengeluaran siswa secara sepihak hanya karena alasan administratif. Bahkan, Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 menegaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan akses pendidikan dasar dan menengah tanpa hambatan birokrasi. Menurutnya, jika terdapat kekeliruan dalam proses PPDB atau penginputan data Dapodik, maka hal tersebut harus diperbaiki melalui koordinasi antara pihak sekolah, dinas, dan orang tua siswa.
“Yang terjadi di SMA 5 Bengkulu adalah bentuk kegagalan manajemen pendidikan. Ini bukan kesalahan siswa, jadi jangan bebani mereka dengan konsekuensi yang tidak adil,” tambahnya. Ia juga meminta Pemerintah Provinsi Bengkulu dan Dinas Pendidikan segera turun tangan untuk mengembalikan hak belajar para siswa tersebut.
Lebih lanjut, Alumni Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta tersebut juga mendorong perlunya audit internal di sekolah tersebut untuk mengetahui bagaimana proses PPDB dilakukan, dan siapa yang bertanggung jawab atas kelalaian pendataan ini. “Kita tidak bisa membiarkan pendidikan menjadi korban kelalaian administratif. Sekolah seharusnya menjadi tempat perlindungan dan pertumbuhan, bukan tempat diskriminasi,” katanya.
Pernyataan tegas dari Dr. Iswadi menjadi suara harapan bagi para siswa dan orang tua yang kecewa. Ia menegaskan bahwa perjuangan belum selesai, dan akan terus mengawal kasus ini hingga 72 siswa tersebut mendapatkan kembali hak pendidikan mereka.(rel/rj).