Oleh. Prof. Dr. Zulfikar Ali Buto Siregar, S.Pd.I., M.A,Direktur Pascasarjana UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe
Namun, di tengah kebanggaan sejarah dan gambaran religius ini, pendidikan Islam di Aceh saat ini menunjukkan fenomena yang disebut sebagai anomaly: ketidaksesuaian antara prinsip-prinsip Islam yang luhur dengan praktik pendidikan yang seringkali stagnan dan tidak berubah.
Kurikulum, Orientasi pembelajaran, dan manajemen kelembagaan adalah beberapa area di mana Anomali ini tampak nyata. Di satu sisi, Aceh dikenal sebagai tempat di mana nilai-nilai Islam digunakan untuk membangun kehidupan Sosial dan Moral. Sebaliknya, banyak Institusi Pendidikan Islam masih mengandalkan praktik lama, pendekatan Konservatif, dan kurangnya Inovasi.
Akibatnya, Pendidikan Islam, yang seharusnya menjadi kekuatan Transformasi, masih lamban dalam menghadapi Modernisasi, Globalisasi, dan Revolusi Digital. Ironisnya, Lembaga Pendidikan Islam Agama yang menekankan pentingnya ilmu dan perubahan sering kali tertinggal dari kemajuan ilmiah dan Teknologi.
Lembaga Dayah, yang menjadi kebanggaan masyarakat Aceh, merupakan salah satu anomali yang paling menonjol. Selama berabad-abad, Dayah bukan hanya tempat untuk belajar agama; itu juga telah menjadi tempat untuk membangun Moralitas, Karakter, dan kepemimpinan Sosial.
Alumni Dayah telah memainkan peran penting dalam perjuangan melawan Kolonialisme dan pembangunan masyarakat dalam sejarahnya. Namun, hingga saat ini, sebagian Dayah masih mengikuti Metode pengajaran Tradisional yang sepenuhnya berpusat pada penguasaan Kitab Kuning sulit memasukkan ilmu Pengetahuan Umum dan Teknologi Modern. Generasi muda saat ini membutuhkan berpikir terbuka, beradaptasi dengan teknologi, dan mampu bersaing di seluruh Dunia.
Di Aceh, Sebagian Dayah dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam juga menghadapi masalah serupa. Sekolah-sekolah ini seharusnya menghubungkan Agama dan Ilmu pengetahuan Modern. Namun, dalam kenyataannya, banyak dari mereka tetap menekankan pelajaran Normatif yang menekankan aspek Ritual dan Moral, tanpa mengajarkan siswa berpikir Kritis, memahami Sains, dan keterampilan abad ke-21.
Kurikulum seringkali kaku dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat Modern. Di sisi lain, banyak Pendidik yang belum terbiasa menggunakan Metode Pembelajaran Inovatif dan Teknologi Pembelajaran Digital. Perguruan Tinggi Islam juga menghadapi masalah serupa: mereka ingin menghasilkan sarjana yang berpengetahuan dan berakhlak, tetapi banyak kampus kesulitan berinovasi karena sistem birokrasi yang kaku dan kurangnya riset berbasis masyarakat.
Penerapan Otonomi Khusus dan Syariat Islam di Aceh, ada peluang besar untuk membangun sistem Pendidikan Islam yang berkualitas Tinggi dan berkarakter. Namun, peluang itu belum dimanfaatkan sepenuhnya. Banyak kebijakan Pendidikan masih berfokus pada hal-hal simbolik, seperti penegasan aturan Ibadah, pakaian seragam Syar'i, atau pelajaran Fikih.
Namun, mereka tidak melakukan perubahan Signifikan dalam Kualitas Pendidikan, kemampuan Guru, atau Struktur Kurikulum. Di sinilah anomali terjadi, meskipun Aceh telah menerapkan Syariat Islam secara resmi, namun kondisi tersebut belum mampu menjadikannya sebagai paradigma perubahan dalam bidang Pendidikan. Sistem Pendidikan yang menanamkan Keadilan, Kejujuran, Integritas, dan semangat penelitian harus menghidupkan nilai-nilai Islam lebih dari sekedar simbol.
Aceh perlu melakukan Reformasi Pendidikan Islam yang menyeluruh dan berkelanjutan untuk menghilangkan Anomali tersebut. Pertama dan terpenting, Pendidikan Islam harus mengutamakan Integrasi ilmu, menghapus perbedaan antara Ilmu Agama dan ilmu dunia. Menurut Iman Tauhid, segala jenis Ilmu, termasuk Ilmu Sosial, Teknologi, dan Sains, pada akhirnya merupakan bagian dari Manifestasi Kebesaran Allah. Kedua, penggunaan Teknologi Digital dan pendekatan pembelajaran Aktif, berbasis Proyek, adalah perluasan pendidikan.
Sangat penting bagi Guru dan Teungku,Ustadz untuk dilatih agar mereka dapat memberikan pembelajaran yang Inovatif, Interaktif, dan relevan dengan tuntutan abad ke-21. Ketiga, Kolaborasi Lintas Lembaga antara Pemerintah, Dayah, Madrasah, Perguruan Tinggi, dan sektor Swasta diperlukan untuk mendorong Penelitian, Pertukaran Ilmu, dan program Inovatif yang mendukung Transformasi Sistem Pendidikan Islam. (*)



